Myanmar 'membuldoser' desa Rohingya di Rakhine, kata Amnesty International

Myanmar 'membuldoser' desa Rohingya di Rakhine, kata Amnesty International
Rohingya Hak atas foto Getty Images Image caption Seorang tentara Myanmar memantau perbatasan di dekat tempat pengungsian warga Rohingya di Bangladesh.

Myanmar dituduh melakukan sebuah "perampasan lahan secara militer" terhadap daerah di wilayah negara bagian Rakhine yang dulu dihuni oleh etnik Rohingya, seperti disampaikan Amnesty International dalam laporan terbarunya.

Kelompok HAM itu menyebut berdasarkan gambar citra satelit dan para saksi, desa-desa tersebut telah dibuldoser untuk melancarkan proyek infrastruktur baru sejak Januari lalu.

Seorang juru bicara Amnesty mengatakan bahwa langkah militer ini "dikhawatirkan" menghilangkan bukti kejahatan terhadap Rohingya.

Pemerintah Myanmar belum memberikan respon terhadap laporan tersebut.

Sebelumnya, Myanmar meminta "bukti yang jelas" untuk mendukung tuduhan dari PBB yang menyebutkan ada dugaan "aksi genosida" terhadap Rohingya.

Amnesty mengatakan ketika gambar dalam laporan terbaru ini mewakili "hanya sebagian, situasi yang meningkatkan kepedulian mengenai implikasinya terhadap masa depan ratusan ribu Rohingya... seperti puluhan ribu orang yang masih hidup di wilayah tersebut".

Krisis Rohingya: Utusan PBB mengatakan pengungsi alami 'pemaksaan kelaparan' Foto satelit 'perlihatkan' desa Rohingya dibuldoser Myanmar Krisis Rohingya: Ledakan bom guncang ibukota negara Rakhine, Myanmar

Pada Agustus lalu, militer Myanmar meluncurkan sebuah operasi militer di negara bagian Rakhine setelah serangan mematikan di kantor polisi.

Hak atas foto AFP Image caption Sekitar 700.000 orang Rohingya- sebagian besar minoritas Muslim - melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh.

Militer mengatakan serangan itu untuk menindak pemberontak, tetapi laporan menyebutkan adanya pelanggaran HAM, pembunuhan dan pembakaran desa-desa.

Sekitar 700.000 orang Rohingya- sebagian besar minoritas Muslim - sejak saat itu melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh, bergabung dengan para pengungsi dari gelombang kekerasan yang terjadi sebelumnya.

Bangladesh dan Myanmar menyepakati rencana repratriasi pada Januari lalu, yang akan dilihat sebagai kedatangan kembali warga Rohingya kembali ke Myanmar dalam waktu dua tahun.

Bagaimanapun masih ada kekhawatiran mengenai keselamatan mereka dalam rencana tersebut.

Hak atas foto AMNESTY/DIGITAL GLOBE Image caption Amnesty mengatakan gambar citra satelit ini menunjukkanbagaimana desa-desa yang sebelumnya dihuni etnis Rohingya ini dihancurkan dan dibangun kembali oleh pemerintah.

Laporan Amnesty yang berjudul Remaking Rakhine State, menyebutkan bahwa bersamaan dengan pembangunan infrastuktur yang baru untuk warga sipil untuk mengakomodasi penduduk yang akan kembali, wilayah ini "dimiliterisasi dengan kecepatan yang mengkhawatirkan".

"Pangkalan baru tengah dibuat untuk menampung pasukan yang sama yang telah melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap Rohingya," kata Tirana Hassan, Direktur Reaksi Krisis Amnesty International.

"Ini membuat kembalinya pengunsi Rohingya dengan sukarela, aman dan bermartabat jauh dari harapan."

Amnesty juga mengatakan bahwa fasilitas baru bagi pasukan keamanan dan jalanan telah dibangun di sekitar lokasi yang sebelumnya merupakan desa-desa etnik Rohingya, yang diduga wilayah itu akan digunakan untuk mengakomodasi lebih banyak pasukan keamanan.

Myanmar 'membuldoser' kuburan massal Rohingya untuk 'hilangkan bukti pembantaian' Krisis Rohingya: Wartawan Reuters ditahan 'karena menyelidiki dugaan pembunuhan di Myanmar'

Dengan membuldozer seluruh desa, otoritas juga "menghapus bukti kejahatan terhadap kemanusiaan, yang menyebabkan sulitnya upaya untuk meminta pertangungjawaban di masa mendatang," jelas Hassan.

Dia mengatakan pembangunan ini "sangat dibutuhkan" di Rakhine, salah satu negara bagian yang termiskin di Myanmar, namun harus "bermanfaat bagi semua orang terlepas dari etnisitas mereka, tidak mempertegas sistem apartheid terhadap orang Rohingya".

Wilayah Rakhine sebagian besar tertutup bagi penyelidi PBB, kelompok HAM dan media, yang menyulitkan untuk menverifikasi laporan seperti itu secara independen.

Pemerintah Myanmar menolak memberikan kewarganegaraan dan kesempatan yang sama terhadap Rohingya, yang disebutnya sebagai imigran yang ilegal dan tidak disukai oleh mayoritas Buddha.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.