Korban pembantaian di gereja Liberia menuntut keadilan

Korban pembantaian di gereja Liberia menuntut keadilan
Gereja St Peter Monrovia Hak atas foto Getty Images Image caption Para pria, perempuan, anak-anak bahkan bayi tewas dibantai dalam gereja ini.

Pembantaian di gereja Monrovia pada tahun 1990 adalah kekejaman terburuk dari perang saudara di Liberia. Sekitar 600 warga sipil, termasuk banyak anak-anak, terbunuh dalam pembantaian justru saat mengungsi di sebuah gereja.

Kini, empat orang yang selamat menuntut salah seorang yang bertanggung jawab atas peristiwa itu, demikian laporan Elizabeth Blunt wartawan BBC di Liberia saat itu.

Kala itu Juli 1990, para pejuang pemberontak merangsek masuk ke ibu kota Liberia, Monrovia. Presiden Samuel Doe bersembunyi di Executive Mansion yang luas dan suram.

Setelah gerombolan tentara berkeliaran di jalanan, menjarah toko-toko, gudang dan mencari orang-orang dari Kabupaten Nimba, kawasan tempat pemberontakan dimulai.

Mereka menyeret orang-orang dari rumah mereka, memukul dan bahkan membunuh mereka.

Ratusan keluarga yang ketakutan, mencari tempat yang lebih aman untuk tidur, mereka mengungsi di Gereja Lutheran Santo Petrus - sebuah bangunan luas yang terletak di dalam sebuah kamp yang dibentengi. Di setiap sudut berkibar bendera Palang Merah dengan ukuran besar.

Image caption Lubang-lubang bekas peluru di jendela gereja.

Namun pada tanggal 29 Juli malam, tentara pemerintah menerobos bangunan dan mulai membunuh orang-orang di dalamnya.

Diperkirakan 600 orang terdiri dari para pria, perempuan, anak-anak, bahkan bayi ditembak atau dibacok sampai mati dengan parang sebelum ada perintah untuk menghentikannya.

Seorang dokter perempuan asal Guinea, yang merupakan orang pertama yang sampai ke gereja itu keesokan harinya, menggambarkan pemandangan yang mengerikan.

Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana. Satu-satunya tanda kehidupan adalah tangisan seorang bayi.

Ia menjelaskan harus berjalan di atas jasad-jasad itu agar bisa mengambil bayi itu, tapi saat ia memeluknya dan mencoba menenangkannya, selintas tiba-tiba ia melihat seseorang bergerak, disusul dengan yang lainnya.

Ada beberapa anak yang selamat, terlindung oleh jasad orang tua mereka. Ketika mereka melihat ada seorang warga sipil dan seorang perempuan yang merawat bayi itu, mereka berani keluar.

Salah seorang anak yang selamat itulah yang kini menuntut ganti rugi.

'Status dilindungi'

Misionaris Amerika, Bette McCrandall, juga berada di sana pagi itu. Dia terbangun pada malam sebelumnya setelah mendengar kericuhan yang terjadi di kompleks uskup Lutheran di dekatnya.

Ia mengatakan selalu mengingat peristiwa itu, bahkan setelah peristiwa itu berlalu bertahun-tahun kemudian, sama halnya dengan yang terjadi pada para korban selamat.

"Peristiwa di malam dan siang hari itu akan terus terkenang," katanya.

Image caption Gereja St Peter's Lutheran kini dibangun kembali.

Ini adalah kekejaman terburuk dalam peperangan, peristiwa yang begitu mengejutkan sehingga mendorong negara-negara tetangga untuk melakukan intervensi bersenjata. Namun tidak ada yang pernah diadili ataupun bertanggung jawab atas peristiwa itu.

Pria yang sekarang dibawa ke pengadilan di AS adalah Moses Thomas, seorang mantan kolonel di Unit Anti Teroris Khusus (Satu) yang paling ditakuti dan tinggal di Executive Mansion.

Para korban selamat mengenalinya sebagai salah seorang yang memerintahkan pembunuhan pada malam itu. Sekarang ia tinggal di negara bagian Pennsylvania, AS.

Seperti kebanyakan orang Liberia, ia diberi "status perlindungan sementara", karena kekejaman yang terjadi di negaranya.

Liberia memiliki Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dan Thomas termasuk di antara mereka yang direkomendasikan untuk dituntut - namun tidak ada kasus-kasus yang pernah diajukan.

Jadi sekarang ada sebuah gerakan yang mulai menyeret mereka ke pengadilan di luar Liberia.

Berbicara kepada BBC setelah menyerahkan dokumen di pengadilan pada hari Senin (12/2), Thomas menyebut tuduhan tersebut "omong kosong".

"Saya tidak akan menerima tuduhan tersebut," katanya. "Tak satupun orang di unit saya yang terkait dengan serangan terhadap gereja."

Kemenangan kecil

Hassan Bility, yang mengepalai Proyek Keadilan dan Riset Global di Monrovia, mengatakan bahwa ia senang dengan perkembangan terbaru.

"Selama 27 tahun, orang-orang yang selamat dari pembantaian ini telah berjuang dan berusaha untuk keadilan namun tak membuahkan hasil, dan tidak ada yang memperhatikan - bukan pemerintah Liberia, tidak ada orang di luar. Jadi ini adalah kemenangan kecil," ujarnya.

Apa yang terjadi dalam perang saudara di Liberia? 1989: Charles Taylor memulai pemberontakan melawan President Samuel Doe. 1990: Doe dibunuh secara sadis oleh para pemberontak. 1997: Perang saudara berakhir setelah 250,000 orang tewas. Taylor terpilih menjadi presiden. 2012: Taylor ditahan karena kejahatan perang di negara tetangga Sierra Leone.

Misionaris McCrandall tentu menganggapnya penting.

"Bagi saya," katanya, "ini adalah kesempatan baginya (Thomas) untuk mengakui apa yang telah ia lakukan, dan atas perintah siapa.

"Orang itu harus hidup dan mati dengan kesalahan yang telah ia perbuat. Dan dalam pikiran saya, hal itu melegakan saya karena masalah ini belum selesai dan kasusnya belum ditutup."

Hambatannya ialah bahwa untuk saat ini, tuntutan yang diajukan bersifat perdata, bukan tuntutan pidana. Sejumlah penuntutan pidana telah dimulai di Eropa, di mana pengadilan akan mendengarkan kasus-kasus kejahatan perang yang disebut "yurisdiksi universal".

Di AS lebih sulit, para pegiat harus cerdik melawan impunitas. Seorang panglima perang Liberia, yang dikenal sebagai "Jungle Jabbah", baru-baru ini diadili terkait penipuan imigrasi, ia mengaku tidak pernah menjadi anggota kelompok bersenjata.

Hak atas foto Getty ImagesPengadilan di Liberia?

Thomas dituntut karena telah melakukan pembunuhan warga sipil oleh empat orang yang selamat dari peristiwa pembantaian.

Jika mereka menang gugatan, ia mungkin tidak mampu membayar banyak ganti rugi. Tetapi para pegiat berharap bahwa bukti yang keluar di pengadilan akan membuat pihak berwenang Amerika mempertanyakan statusnya yang "terlindungi", membuka jalan bagi penuntutan pidana atau deportasi.

Tapi jika ia dideportasi kembali ke Liberia, apa yang terjadi selanjutnya? Apakah ia akan diadili? Liberia tidak pernah memiliki pengadilan khusus dan tidak pernah berupaya menyidangkan kasus-kasus kejahatan perang. Banyak tersangka yang masih menduduki posisi-posisi puncak.

Aktivis Hassan Bility berpegang teguh pada harapan bahwa kini, dengan pemerintahan baru, banyak hal yang mungkin berbeda.

Hak atas foto Getty Images Image caption Presiden Liberia, George Weah tidak terlibat dalam konflik peperangan karena saat itu ia tengah mengikuti pertandingan sepakbola di Eropa.

"Presiden yang sekarang terpilih, George Weah, sepenuhnya tidak ada kaitan dengan perang," katanya.

"Ia bukan bagian dari faksi manapun, ia saat itu tengah bertanding sepakbola di Eropa. Dan ia mendapat banyak dukungan dari orang-orang miskin, orang-orang yang benar-benar menderita dalam perang. Sekarang kami memiliki kesempatan untuk melakukannya".

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.