Ganti rugi bagi budak seks tentara Jepang 'tak penuhi' kebutuhan korban dari Korea Selatan
Korea Selatan mengatakan kesepakatan ganti rugi 1 miliar yen bagi mantan budak seks tentara Jepang dalam Perang Dunia II tidak sepadan dan tidak memenuhi kebutuhan para korban, tetapi Jepang menegaskan kesepakatan iru tak dapat diubah lagi.
Jepang mengatakan kesepakatan yang dicapai pada tahun 2015 dengan Korea Selatan untuk memberikan ganti rugi kepada perempuan Korea Selatan yang dipaksa bekerja di rumah-rumah bordil militer Jepang dalam Perang Dunia II sudah final.
Menteri Luar Negeri Jepang, Taro Kano, mengatakan segala upaya untuk merivisi kesepakatan akan membuat hubungan kedua negara tak dapat dikendalikan.
Pernyataan Taro Kano dikeluarkan setelah Menteri Luar Negeri Korea Selatan, Kang Kyung-wha, mengatakan kesepakatan ganti rugi 1 miliar yen atau sekitar Rp130 miliar, tidak sepadan dengan penderitaan para korban.
Kesimpulan itu diambil setelah tim panel yang dibentuk Kementerian Luar Negeri menemukan bahwa isi kesepakatan tidak mempertimbangkan pandangan para korban yang masih hidup.
Dikatakan oleh Kang Kyung-wha pemerintah Korea Selatan akan mengkaji temuan panel dan akan berkonsultasi lagi dengan para korban.
Kesepakatan yang ada "tidak mencerminkan pendekatan yang berorientasi pada korban, yang menjadi standar universal dalam menyelesaikan masalah-masalah hak asasi manusia", katanya.
Hak atas foto KIM HEE-CHUL/EPA Image caption Para pendukung perempuan penghibur menggelar protes di Seoul pada Rabu (27/12) menentang kesepakatan tahun 2015.Pihak-pihak yang menentang kesepakatan juga berpendapat perjanjian itu tidak mencakup pengakuan Jepang atas tanggung jawab hukum yang mestinya dipikul Jepang dan tidak pula memberikan kompensasi langsung kepada para korban.
Mantan Menteri Luar Negeri Korea Selatan, Yun Byung-se - yang menjembatani kesepakatan itu - juga turut berkomentar dengan mengatakan tidak ada yang salah dengan perjanjian itu.
Kesepakatan dicapai di bawah pemerintahan Korea Selatan sebelumnya dengan tujuan mengakhiri ketegangan diplomatik selama puluhan tahun.
Kalangan aktivis Korea Selatan memperkirakan 200.000 perempuan dipaksa bekerja di rumah-rumah bordil untuk tentara Jepang di masa Perang Dunia II.
Berdasarkan kesepakatan tahun 2015, Jepang telah meminta maaf dan setuju membayar uang sebesar 1 miliar yen atau sekitar US$8,8 juta ke lembaga dana yang khusus dibentuk untuk membantu korban.
Pengiriman dana itu semestinya dibarengi dengan permintaan maaf yang diucapkan oleh perdana menteri Jepang dan sekaligus pengakuan "tanggung jawab mendalam" atas masalah tersebut.
Sebagai imbalannya, Korea Selatan akan mencari jalan menurunkan patung-patung simbol perempuan yang dipaksa jadi penghibur tentara Jepang yang dipasang oleh kalangan aktivis di luar Kedutaan Jepang di Seoul dan di Konjen Jepang di kota Busan.
Penempatan patung-patung tersebut dimaksudkan untuk menarik perhatian publik atas penderitaan para perempuan yang dipaksa jadi penghibur secara seksual.
Pemasangan patung ini menimbulkan ketegangan diplomatik antara Jepang dan Korea Selatan dan negara-negara lain yang mendirikan patung sejenis.
Mayoritas perempuan penghibur berasal dari Korea, sementara sebagian lainnya berasal dari Cina, Filipina, Indonesia dan Taiwan.
Tidak ada komentar: