Hari Bipolar Sedunia: Hidup dengan mengendalikan suara dan bayangan di kepala

Hari Bipolar Sedunia: Hidup dengan mengendalikan suara dan bayangan di kepala
Penyair dan penulis Gratiagusti Chananya Rompas didiagnosis dengan bipolar disorder tipe II. Hak atas foto Instagram/@violeteye/BBC Indonesia Image caption Penyair dan penulis Gratiagusti Chananya Rompas didiagnosis dengan bipolar disorder tipe II.

Tanggal 30 Maret diperingati sebagai Hari Bipolar Sedunia. Hari itu juga digunakan untuk memberikan penyadaran global akan gangguan tersebut, mendorong diskusi yang terbuka, serta kesempatan untuk membangun kepekaan terhadap orang-orang yang didiagnosis sebagai bipolar.

Mungkin belum banyak yang mengetahui tentang apa itu gangguan bipolar, gejalanya, dan bagaimana bipolar bisa berpengaruh pada kehidupan seseorang.

Penyair dan penulis Gratiagusti Chananya Rompas menuturkan bagaimana dia hidup sebagai bipolar dan didiagnosis pada usia dewasa:

Matahari belum sepenuhnya tenggelam. Sedikit sinarnya masih menerobos masuk lewat tirai bermotif alang-alang, membuat kain hijau itu menjadi kecoklatan.

Suster membantu saya naik ke tempat tidur yang spreinya baru diganti. Setelah saya berbaring, ia menekan tombol pada papan pengaturan untuk membuat tempat tidur hidrolik itu lebih rendah.

"Saya tinggal ya, Bu Anya," katanya ramah sambil berjalan ke pintu dan menutupnya perlahan, "Silahkan istirahat dulu, Bu."

Saya menoleh ke arah tirai. Tiba-tiba, saya merasa seperti sedang dikerek turun ke dalam tanah.

Alang-alang semakin tinggi meninggalkan saya, lapisan tanah yang coklat tua menjadi semakin muda dan berbatu-batu.

Tak lama kemudian, perasaan kalau saya sedang diturunkan ke liang lahat muncul.

Skizofrenia: tak semua penderita gangguan jiwa berbahaya Desa di Gunung Kidul yang 'memanusiakan penderita gangguan jiwa'

Setiap kali saya menutup mata untuk menghapuskan pemandangan itu, saya malah melihat sosok-sosok gelap bertanduk dan bertaring. Mereka diam saja tetapi terus menatap saya dengan pandangan mengancam.

Setengah berteriak, saya mengatakan kepada suami saya, "Tolongin aku, aku kayak mau dikubur!"

Suami saya yang sedang mondar-mandir di kamar, membereskan barang-barang malah mencandai saya, "Bagi dong obatmu."

Rambut suami saya pada waktu itu panjang sebahu dan ketika saya mencoba berkonsentrasi untuk mengikuti gerak-geriknya, ia berubah menjadi seperti Yesus! Dan sedetik kemudian, ia berubah lagi menjadi Sadako!

Saya panik tapi juga merasa tak berdaya, bahkan saya merasa tak bisa bergerak. Suami saya tertawa ketika mendengar apa yang saya lihat. "Udah, tidur aja," katanya.

Tetapi begitu saya menutup mata, saya merasa sedang di dalam peti mati di dalam sebuah ruangan di sebuah rumah duka.

Saya melihat ibu mertua saya di sebelah kiri peti sedang bersalaman dengan dua orang laki-laki berbaju batik.

Saya belum pernah setakut itu sehingga saya membuka mata lagi. Saya marah saat suami saya santai saja mendengar cerita saya dan lagi-lagi dengan enteng menyuruh saya tidur.

Memang tubuh saya tidur tak lama kemudian karena sejak sebelum melihat hal-hal aneh tadi pun saya sudah merasa sangat ngantuk.

Tentu saja, begitu mata saya tertutup, saya melihat hal yang luar biasa lagi. Kali ini saya berjalan menembus padang bunga matahari, menuju sebuah sumber sinar gemerlap.

Di setiap langkah, bunga-bunga di sekitar saya meleleh seperti emas dan berubah menjadi sosok-sosok serupa manusia yang bercahaya.

Hak atas foto Gratiagusti Chananya Rompas Image caption "Saya ingat sejak saya masih kanak-kanak, saya seringkali bingung mengapa teman-teman sepermainan saya hampir selalu terlihat bahagia."

Agak jauh di depan, saya melihat tiga sosok orang yang saya yakini perempuan dari tiga generasi berbeda.

Saya menduga mereka mendiang ibu saya, kakak saya dan saya sendiri. Tapi sepertinya dugaan tersebut tidak cocok.

Saya mencoba menebak-nebak sampai beberapa kali sebelum akhirnya saya tahu kalau mereka adalah kakak saya, anak perempuan saya yang kira-kira sudah lima tahun lebih tua dari usianya saat itu dan anak perempuan kedua saya (saya hanya mempunyai satu anak sampai sekarang)! Dan, ternyata mereka tidak berada di alam yang sama lagi dengan saya!

Saya sedang melihat ketiga perempuan itu menghadiri penguburan saya!

Lalu selanjutnya saya bertemu Tuhan, yang kuasanya menempati terang maupun gelap. Ia membawa saya berkeliling melihat benda-benda angkasa. Bahkan berputar-putar keluar masuk segala spektrum cahaya.

Saya bangun keesokan harinya merasa seperti saya baru dibangkitkan dari kubur.

Saya melihat hidup dengan penuh harapan, begitu banyak ide yang bermunculan, kegiatan yang ingin saya lakukan.

Saya juga merasa menemukan jawaban untuk pergumulan saya: perselisihan dengan beberapa anggota keluarga, renovasi rumah, seorang teman baik yang menderita kanker, dibicarakan yang tidak-tidak di belakang punggung saya oleh seorang teman lain, writer's block—pendeknya, banyak aspek dalam hidup saya yang kacau-balau.

Begitu keluar dari rumah sakit, semua itu terasa lebih ringan. Saya juga merasa lebih berenergi, bisa bicara dengan riang gembira—sesuatu yang sudah lama tidak saya rasakan.

Tuhan telah mengunjungi dan menyentuh saya!

***

Seminggu kemudian saya menangis, berteriak-teriak dan mengamuk di rumah kakak perempuan saya sampai tidak sadarkan diri.

Keluarga saya membawa saya ke IGD terdekat dan saya kembali menjalani rawat inap. Tak terlalu banyak yang saya ingat soal malam itu, atau keesokan paginya.

Hak atas foto Gratiagusti Chananya Rompas Image caption "Setelah kami tahu lebih banyak, jelas sekali pada waktu itu saya mengalami fase manik yang dilanjutkan dengan fase depresi."

Tetapi saya tak berhenti bicara dan menangis selama berhari-hari. Belakangan saya tahu, salah satu anggota tim dokter yang menangani saya waktu itu adalah seorang psikiater.

Dua hari kemudian, begitu saya dinyatakan bisa keluar dari rumah sakit, suami saya membawa saya ke rumah teman kami, untuk menemui ibunya yang seorang psikolog.

***

Apa yang sebenarnya terjadi?

Setelah kami tahu lebih banyak, jelas sekali pada waktu itu saya mengalami fase manik yang dilanjutkan dengan fase depresi.

Sejak peristiwa di atas, saya rutin menemui psikiater dan psikolog.

Lewat sesi-sesi tersebut, saya diberi diagnosis bahwa saya menderita bipolar disorder non-psikotik non-spesifik (setahun kemudian, diagnosis saya menjadi bipolar disorder tipe II).

Saya juga diajak mengingat-ingat kembali masa lalu saya, jauh sampai saya masih kecil. Ternyata saya sudah sering menunjukkan gejala-gejala bipolar disorder.

Saya ingat sejak saya masih kanak-kanak, saya seringkali bingung mengapa teman-teman sepermainan saya hampir selalu terlihat bahagia dan… tenang.

Jika mereka sedih atau marah, sepertinya pengaruhnya tak seberapa besar bagi mereka. Sementara saya, mudah sekali berganti-ganti perasaan dan pergantian perasaan itu akan mempengaruhi suasana hati saya sepanjang hari.

Waktu saya melihat foto-foto tua, saya menyadari saya jarang tersenyum.

Ada sebuah foto di mana saya, yang masih duduk di bangku TK, memakai gaun katun berwarna kuning muda dengan renda putih, duduk diapit bersama teman-teman saya: satu memakai kostum perawat, satu memakai baju adat Sulawesi Selatan, satu memakai baju pengantin.

Di foto itu saya melongo, cenderung murung.

Saya ingat sekali peristiwa yang terjadi sebelum foto itu diambil. Hari itu hari pawai sekolah tetapi saya maupun orangtua saya lupa sehingga tidak ada yang mempersiapkan kostum untuk saya pakai.

Semua baru ingat ketika teman-teman saya datang menjemput dengan memakai kostum masing-masing. Melihat hal itu, saya mengamuk, lari dari satu ruangan ke ruangan lain sambil melempar-lempar barang ke segala penjuru.

Semakin besar, saya semakin menyadari ayunan emosi saya yang cukup tajam.

Saya pikir ini pasti ada hubungannya dengan perubahan hormon yang dialami remaja dan, kebetulan saja, yang saya alami lebih parah dari teman-teman yang lain.

Ini membuat saya cenderung pendiam dan menutup-nutupi letupan-letupan perasaan saya. Saya juga cenderung menghukum diri dengan mengatakan kepada diri sendiri kalau saya terlalu "drama".

Waktu saya duduk di bangku kuliah, dalam satu semester saja, saya berubah dari mahasiswa straight A menjadi mahasiswa yang terancam DO.

Keluarga, bahkan saya sendiri, menyalahkan kejadian ini pada kemalasan saya. Itu salah satu faktor yang valid, tetapi mungkin yang tidak diteliti lebih lanjut, bahkan oleh saya sendiri, adalah pemicu "kemalasan" saya.

Apalagi ini tidak terjadi sekali; sebelum saya lulus (setahun lebih lambat daripada teman-teman seangkatan saya), saya kembali mengalami penurunan drastis dalam studi saya. Namun, beberapa tahun setelah lulus, saya berhasil menyelesaikan pendidikan pascasarjana.

Ketika diagnosis saya keluar, awalnya saya menyalahkan keluarga saya, juga diri saya sendiri.

Mengapa tidak ada yang menyadari kalau ada yang salah. Mengapa saya, dengan latar belakang pendidikan saya, tidak bisa merasa kalau saya perlu berkonsultasi dengan seorang psikolog atau psikiater supaya saya tidak perlu mengalami peristiwa-peristiwa yang traumatis seperti yang saya ceritakan di atas lalu baru menemui mereka.

Saya juga menyalahkan mendiang orangtua saya dan gaya parenting mereka.

Tetapi, setelah saya belajar lebih banyak tentang kondisi ini, saya justru merasa kalau ayah saya juga menunjukkan beberapa gejala yang sesungguhnya perlu diwaspadai.

Saya juga menyadari bahwa selama orang-orang dengan gangguan jiwa masih mengalami stigmatisasi, akan sulit sekali bagi orang-orang yang curiga mereka mungkin mengalami gangguan psikologis, apalagi kejiwaan, dan pasangan maupun keluarga mereka untuk mengakui bahwa mereka butuh pertolongan.

Sekarang, saya sudah berhenti menyalahkan diri sendiri maupun keluarga saya.

Saya hanya berharap, dengan berbagi cerita, saya bisa membantu, paling tidak seorang saja, untuk merasa kalau menemui psikolog atau psikiater adalah sesuatu yang tidak perlu ditakutkan.

***

Setelah ditangani dan menjalani pengobatan, saya merasa lebih mengerti diri sendiri.

Saya belajar mengenali pemicu dari perasaan-perasaan saya sehingga saya tahu apa yang bisa dilakukan untuk mengendalikannya. Bahkan, mewaspadai serta menghindari pemicu-pemicu yang bersifat negatif.

Saya juga belajar bagaimana mengekspresikan diri saya dengan lebih baik.

Bagaimana membela prinsip dengan cara yang tidak akan berbalik menyakiti diri saya sendiri, memilih hal-hal yang lebih penting untuk dibela, menghadapi dan mengenali emosi bukan memendamnya, sehingga saya bisa mengkomunikasikan pemikiran saya dengan runut dan jelas.

Ketika kita bicara pengobatan, banyak pro dan kontra yang seringkali juga disertai dengan rasa malu, takut ketergantungan, dan banyak lagi.

Saya sendiri merasa perlu mengkonsumsi obat yang diresepkan kepada saya. Walaupun sudah menerima kenyataan bahwa ini akan terjadi seumur hidup, saya juga masih menyesuaikan diri dengan episode-episode yang dialami seseorang dengan bipolar disorder (mania, hipomania, depresi, atau gabungannya).

Dengan pengobatan, episode-episode ini menjadi lebih ringan dan perasaan tak berguna, tak ada harapan semakin berkurang intensitasnya.

Namun, di sisi lain, psikolog dan psikiater saya mengatakan obat juga perlu diimbangi dengan makanan sehat, olahraga, dan kegiatan-kegiatan positif (seperti mendengar musik, menulis, melukis, ikut lokakarya membuat kerajinan tangan atau kegiatan-kegiatan yang bersifat mengedukasi atau berhubungan dengan orang banyak) untuk menyalurkan pemikiran dan perasaan sekaligus mengembangkan bakat dan rasa percaya diri.

Saya ingat psikiater saya pernah mengumpamakan bahwa proses pengobatan dan terapi yang menyertainya itu seperti belajar naik sepeda.

Ketika orang-orang dengan bipolar disorder mengkonsumsi obat anti-depresan dan pengendali emosi (tentunya sesuai dengan kebutuhan), mereka sedang naik sepeda roda tiga.

Lama-kelamaan, ketika sudah mulai mengenali cara-cara untuk menghindari dan melewati episode-episode yang mereka alami, dosis mereka bisa diturunkan perlahan-lahan.

Bukan tidak mungkin, di kasus-kasus tertentu, mereka bisa naik sepeda roda dua.

Ini yang sedang saya jalankan sekarang. Dosis yang perlu saya konsumsi sudah di taraf paling rendah dan frekuensinya sudah dikurangi. Harapan saya, pada suatu hari nanti, saya bisa berangkat drug holiday!

***

Beberapa minggu lalu, suami saya pernah menemukan sebuah artikel yang berargumen bahwa orang-orang dengan gangguan kejiwaan yang tidak terdeteksi atau tidak menjalani terapi yang tepat (baik secara medis maupun non-medis) bisa menjadi beban bagi masyarakat.

Sedikit banyak saya menyetujui hal ini.

Saya membayangkan bagaimana bingung dan sakit hatinya keluarga dan orang-orang di sekitar saya yang harus menghadapi pembangkangan, luapan kemarahan bahkan keputusan saya untuk undur diri dari segala bentuk komunikasi, diam dan mengunci diri di kamar.

Yang mengalami efek buruk tidak hanya orang dengan gangguan kejiwaan, tetapi juga orang-orang di sekitarnya.

Kalau kamu merasa pasangan, anggota keluarga atau temanmu ada yang memerlukan pertolongan profesional, mungkin saya bisa mengusulkan beberapa hal.

Pertama-tama, hadirlah untuk mereka. Ada saatnya mereka tidak mau melakukan apapun, ada saatnya mereka merasa bisa menguasai dunia.

Di kedua masa itu, mereka sesungguhnya memerlukan orang-orang yang mendukung mereka dan bisa memberikan mereka perspektif.

Duduk di sebelah mereka, tawarkan mereka minuman kesukaan dan dengarkan racauan mereka.

Nyalakan dupa yang membuat rileks kalau ruangan mereka bau karena mereka sudah berhari-hari tidak mandi. Atau tanyakan apa rencana mereka untuk menguasai dunia.

Kalau mereka bilang mereka ingin jadi presiden atau juara All England tahun depan, ajak mereka les bahasa asing atau main badminton di lapangan kompleks.

Bukannya mereka tidak boleh punya mimpi besar tetapi di dalam kepala orang-orang dengan bipolar disorder beragam ide besar dapat muncul dalam waktu bersamaan.

Ini berpotensi membuat mereka frustrasi karena mereka tidak tahu harus mulai dari mana untuk mewujudkan ide-ide tersebut.

Setelah frustrasi, mudah ditebak, akan muncul perasaan tak berguna dan tak berarti yang akan dengan cepat mendorong mereka ke dalam jurang depresi.

Saya beruntung saya sudah suka menulis sejak saya kecil. Malah ada masa di mana hampir setiap malam saya bisa menulis sekitar lima puisi (pertanda manik!).

Hak atas foto Gratiagusti Chananya Rompas Image caption "Kini saya menganggap bipolar disorder adalah salah satu anugerah Tuhan kepada saya. "

Lucunya, ketika dulu orang-orang bertanya mengapa saya senang menulis puisi, saya selalu menjawab menulis adalah terapi bagi saya.

Saya merasa melalui tulisan, saya bisa memberikan wujud yang bisa saya teliti bagi bayang-bayang dan suara-suara yang tidak jelas juntrungannya di dalam kepala.

Selanjutnya, tentu mencari cara terbaik untuk membawa mereka menemui psikolog atau psikiater. Sering penolakan juga datang dari mereka sendiri. Di kasus seperti ini, orang terdekat merekalah yang sebaiknya pergi lebih dulu untuk berkonsultasi.

Penanggungjawab (caregiver) orang dengan gangguan bipolar atau kondisi kejiwaan lainnya juga perlu mendapatkan bantuan profesional.

Secara berkala, suami saya pergi menemui psikolog. Tentu sangat berat untuknya mendengar saya menangis di ruang sebelah ketika ia sedang dikejar deadline di saat yang sama ketika anak kami perlu dibantu mengerjakan tugas dari sekolah.

***

Kini saya menganggap bipolar disorder adalah salah satu anugerah Tuhan kepada saya.

Saya jadi lebih mengenali diri sendiri, lebih produktif berkarya, lebih dekat dengan keluarga, berkenalan dengan banyak orang dengan berbagai latar belakang.

Semuanya ini memperkaya kehidupan saya. Saya mungkin tidak bertemu dengan-Nya dan diajak berjalan-jalan menembus cahaya, tetapi Ia memberikan kesempatan bagi saya untuk menambah warna ke dalam hidup saya.

Di Hari Bipolar Disorder Internasional ini, saya berharap lebih banyak orang yang lebih memperhatikan kesehatan mental dirinya maupun orang-orang di sekitarnya.

Tak hanya raga yang perlu kita jaga kebugarannya, tetapi juga jiwa kita semua. Tentu saja, saya juga ingin ikut menyemangati semua orang dengan bipolar disorder beserta caregivers mereka. Sebuah senyum sehari untuk hari-hari yang lebih ceria!

Beberapa tautan penting:

Komunitas Bipolar Care Indonesia

Komunitas Pencegahan Bunuh Diri dan Kesehatan Jiwa

Yayasan Cahaya Jiwa

Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia

Klinik Angsamerah

Kasandra Associates

Sanatorium Dharmawangsa

Gratiagusti Chananya Rompas adalah penyair dan penulis. Ia menulis, pernah secara tidak sadar tetapi sekarang dengan penuh kesadaran, tentang pengalaman dan lika-liku emosi yang dialami seseorang dengan bipolar disorder. Ia juga mengangkat tema-tema seperti kehidupan di kota besar, pengalaman sebagai istri dan ibu, hubungan keluarga, dan memori serta menyelidiki relasi tempat dan imajinasi seseorang di dalam karya-karyanya. Sejumlah puisinya pernah diterbitkan di beberapa antologi, koran dan majalah. Buku-buku kumpulan puisinya adalah "Kota Ini Kembang Api" (Gramedia Pustaka Utama, 2016) dan "Non-Spesifik" (Gramedia Pustaka Utama, 2017). Baru saja menerbitkan kumpulan esai pribadi berjudul "Familiar Messes and Other Essays" (Kepustakaan Populer Gramedia, 2017). Tulisan lainnya bisa dilihat di situs gratiagustichananya.com dan Instagram/Twitter dengan nama @violeteye.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.